Langsung ke konten utama

Anak Lelaki Penyambut Hujan


Sudah hampir dua minggu sejak awal musim penghujan di tahun ini, meskipun sebenarnya hujan juga selalu datang setiap sore hingga malam saat musim kemarau, anak lelaki yang menempati salah satu kamar di lantai dua gedung asrama universitas selalu suka berbasah-basahan ketika berkegiatan di luar gedung, lebih tepatnya tidak pernah menggunakan payung atau jas hujan kala hujan turun. Tidak banyak yang kenal dengan anak lelaki tersebut bahkan sampai saat ini, satu semester sudah terlewati, mungkin hanya teman satu kamarnya di asrama tersebut. Beberapa penghuni lantai dua bahkan sering menceritakan betapa bahagia dan senangnya si anak lelaki tersebut kala hujan tiba. Pernah suatu kali, teman sekamarnya melihat si anak lelaki tersebut melompat dari lantai dua kemudian menari-nari bahagia di bawah hujan berangin. Kegilaannya muncul ketika hujan, begitu kata para penghuni asrama dan teman sekampusnya.

Beberapa teman kampus yang lain menyebutnya sebagai si anak hujan. Dalam keseharian, anak lelaki tersebut terlihat sebagai anak pendiam, bahkan hanya akan berbicara sepatah dua patah kata ketika ditanya oleh orang lain. Sifatnya yang demikian beserta tampilan alakadarnya dengan kemeja abu-abu polos kumal dan celana bahan yang warnanya sudah luntur, tidak pernah disetrika, serta rambut yang tidak pernah disisir membuatnya dijauhi teman-teman sekelasnya bahkan oleh seniornya di kampus. Kesan kampungan dan menyebalkan mungkin sering dirasakan oleh teman-temannya. Namun, dalam sikap diamnya tersebut, si anak lelaki tersebut menyimpan sifat unik, disamping kegilaannya akan hujan dan petir.

Banyak penghuni asrama yang menceritakan bahwa si anak lelaki aneh tersebut selalu rutin terlihat memunguti sampah-sampah daun dan plastik yang berserakan di sekitar gedung asrama setiap pukul setengah empat pagi. Tidak ada yang mengetahui kegiatan apa yang dilakukannya sebelum dia membersihkan semua halaman asrama kecuali teman sekamarnya. Kegiatan aneh tersebut selalu berawal tepat pukul setengah empat dan berakhir pukul empat lebih seperempat pagi. Memang terlihat aneh, tetapi banyak penghuni asrama yang menyetujui apa yang dilakukannya dalam hatinya masing-masing.

Tidak hanya halaman asrama, halaman kampus juga menjadi tempat ritual si anak lelaki aneh tersebut. Dia selalu tepat datang ke kampus setiap pukul setengah enam pagi, dan dia juga akan rutin memunguti semua sampah-sampah daun dan plastik. Pekerjaan itu akan selesai setiap harinya tepat pukul enam seperempat. Pekerjaan seperti itu rutin setiap hari dilakukannya tak terkecuali hari libur.

Tiga puluh menit sebelum kuliah dimulai setiap paginya, si anak lelaki tersebut selalu duduk manis di bangku deretan depan pojok sebelah kiri. Pandangannya selalu diarahkannya ke jendela yang letaknya dekat dengan bangku tempat si anak lelaki tersebut duduk, sambil tersenyum-senyum sendiri. Tiga puluh menit sebelum kuliah dimulai dia selalu memandang ke arah jendela yang kemungkinan anak kuliahan lain tidak akan melakukan hal tersebut. Di semester kemarin, si anak lelaki tersebut juga disebutkan tidak pernah bolos kuliah dan dia tercatat sebagai mahasiswa yang selalu hadir tiga puluh menit sebelum dimulainya perkuliahan. Tidak hanya itu saja, setiap perkuliahan, apa pun kuliahnya baik itu berjam-jam kuliah, dia selalu saja menghadapkan pandangannya ke arah dosen dan layar tempat bahan kuliah disajikan tanpa mengantuk sedikitpun, bahkan apa pun pertanyaan dari dosen selalu dijawabnya dengan tepat dan akurat meskipun pertanyaannya kadang terbilang sulit bagi mahasiswa lainnya di kelas tersebut.

Dua hari yang lalu, ketika hujan turun dengan derasnya, dan kala itu bertepatan dengan waktu berakhirnya perkuliahan di hari tersebut, senyum tiba-tiba terkembang di tengah sikap diamnya, kemudian segera beranjak dari tempatnya duduk serta berlari kecil menerobos kerumunan mahasiswa-mahasiswi yang tengah menunggu hujan reda di halaman luar ruang kuliah. Dia berlari menuju halaman luar gedung kelas yang saat itu dihujani oleh air dari awan yang bukain main gelapnya. Kilat yang memecah gelapnya mendung beserta petir yang bersahut-sahutan tidak menghalangi anak lelaki tersebut menikmati kebersamaannya dengan hujan. Sambil berceracau, anak lelaki tersebut menyambut hujan deras sore itu, tidak lama sosok anak lelaki tersebut terlihat semakin menjauh dari gedung ruang kelas kuliah dan menghilang di tengah derasnya hujan. Entah merapal mantera atau bersenandung, tidak ada yang mengetahui dengan pasti apa yang dilontarkan dalam ceracaunya.

Ketika banyak penghuni asrama dan mahasiswa lainnya yang mengeluhkan kondisi badannya yang mulai melemah di awal musim penghujan ini, tidak begitu dengan si anak lelaki penghuni lantai dua asrama. Tidak terlihat tanda-tanda sakit di tubuhnya meskipun hampir setiap hari tubuh kecil dan kurusnya itu terpapar oleh hujan, bersin-bersin pun tidak.

Absensi kelas pun menunjukkan adanya peningkatan jumlah mahasiswa yang tidak menghadiri prosesi perkuliahan setiap harinya sejak awal musim hujan. Meriang dan pilek, telah menjangkiti hampir seluruh mahasiswa lainnya. Mahasiswa-mahasiswi yang hadir pun tidak serta merta terhindar dari penyakit tersebut. Hanya si anak lelaki aneh yang terlihat dalam kondisi yang bisa dikata kondisi prima. Seperti biasa pagi ini, dia duduk di bangku pojok kiri deretan depan. Jika hari-hari biasanya, dia selalu memandang ke arah jendela, pagi ini dia terlihat menundukkan kepalanya, menghadapkan wajahnya ke arah dua buah benda di atas meja. Tiga puluh menit si anak lelaki itu menatap tak bergerak ke arah dua benda yang seperti dua lembar foto dua buah foto, meski beberapa teman menyapanya. Tatapan kosongnya membuat mahasiswa lain yang sejatinya akan menempati bangku disampingnya menjadi mengurungkan niat mereka. Mereka tampaknya khawatir terjadi sesuatu yang aneh, lebih tepatnya bisa dibilang mereka takut.

Suasana pagi ini memang kurang enak, entah mungkin disebabkan oleh mendung sejak subuh tadi atau entah karena si anak lelaki kampungan yang bersikap aneh. Cuaca yang sudah mulai tidak bersahabat ini dituding oleh beberapa mahasiswa yang ada di ruang kelas menjadi penyebab ketidaknyamanan suasana pagi, selain juga karena dosen yang akan mengajar merupakan dosen yang bisa dibilang killer. Namun, beberapa lainnya lagi menuding anak lelaki yang duduk di pojok kiri deretan depan adalah penyebab ketidaknyamanan suasana kelas. Kasak-kusuk memang tengah terjadi pagi ini, bahkan diantara mereka tiba-tiba keluar kalimat yang tidak enak didengar telinga manapun.

“Hooi, tuh hujan udah mau turun, keluar sana, lo yang suka nari-nari pas hujan, keluar sana, sepet kita-kita ngelihat lo”, sebuah kalimat yang keluar dari salah satu mahasiswi deretan bangku tengah.

“Apa mau kita-kita temenin?”, sahut salah seorang mahasiswa yang duduk di deretan bangku paling belakang sambil memakai bedaknya.

“Sekalian pulang ke kampung deh, biar kampus kita tidak sial”, ucap salah satu mahasiswi yang duduk di bangku deretan tengah.

Meskipun beberapa lontaran kalimat yang tidak enak didengar itu menghujam telinga si anak lelaki tersebut, dia tetap bergeming dan sama sekali terlihat tidak menghiraukan sekelilingnya yang mulai panas dan tidak kondusif. Beberapa mahasiswa yang duduk di bangku deretan belakang tempat si anak lelaki duduk, kadang melemparkan suatu benda ke arahnya, kadang lipatan kertas dan kadang tutup bolpoin. Sesekali lemparan itu tepat mengenai kepalanya.

“Sudahlah, dia sama-sama punya hak seperti kalian berada di ruang ini!”, ucap salah satu mahasiswa yang duduk di bangku deretan tengah. Sambil berdiri, si mahasiswa tersebut kemudian bergerak ke arah mahasiswa pelempar kertas. Dengan sigap, tangan si pelempar kertas dipegang dan entah apa yang dibisikkan oleh si mahasiswa pembela anak lelaki tersebut kepada si pelempar kertas. Tidak lama si pelempar kertas pun terdiam.

“Huuuuuuuuuu”, sorakan dari hampir sebagian besar penghuni ruang kelas pagi ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB, tetapi dosen pengajar belum juga terlihat batang hidungnya. Si anak lelaki aneh tetap saja menghadapkan wajahnya ke arah foto yang sejatinya sudah dia keluarkan sejak pukul 07.30 WIB. Kelas pun semakin riuh, suara kasak-kusuk semakin terdengar jelas. Hampir semua penghuni kelas membicarakan perihal si anak lelaki aneh itu, tidak lupa ditambah-tambahi sehingga menjadi suatu berita yang spektakuler dan bahkan menjadi sangat luar biasa, sehingga mengerucut pada suatu simpulan dimana si anak tersebut patut dipersalahkan dan mungkin patut pula dihilangkan dari muka planet ini. Riuhnya kasak-kusuk tersebut, kadang disertai dengan hardikan yang ditujukan ke anak lelaki aneh itu dan kemudian bercampur dengan suara hujan yang semakin deras.

“Perhatian, mohon perhatiannya!”, ucap salah seorang mahasiswa yang dikenal sebagai ketua kelas sambil berdiri di depan kelas dengan menenteng telepon genggamnya.

“Diam, diam, diam, pak ketua mau bicara!”, teriak salah satu mahasiswa yang duduk di bangku deretan tengah.

“Terima kasih atas perhatiannya, baru saja saya menerima pesan singkat dari dosen bahwa hari ini tidak ada kuliah, beliau berhalangan hadir karena sedang sakit.”, ucap ketua kelas melanjutkan pengumumannya.

“Asyikkk, pulang cepat kita!”, ujar salah seorang mahasiswi yang duduk di bangku deretan belakang sambil berkemas-kemas memasukkan buku dan kotak make-up ke dalam tasnya.

“Yah, tapi hujannya deras banget.”, sahut mahasiswi yang duduk disebelahnya sambil menyandarkan kepalanya ke meja.

Beberapa penghuni ruang kelas pun serta merta keluar menuju halaman luar ruang kelas, mereka berkerumun seakan menunggu bus kota berhenti di depan mereka, sedangkan beberapa masih terlihat duduk-duduk di dalam kelas sambil menunggu hujan reda, tidak lupa pembicaraan dan gosip mengenai si anak lelaki masih hangat di mulut-mulut mereka. Seperti suasana hujan sebelumnya, si anak lelaki tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya, senyum tiba-tiba tersungging di bibir yang terlihat mengering dan mengelupas. Berjalan melewati bangku demi bangku, kemudian berjalan sambil setengah berlari ke arah hujan, sambil meracau yang tidak ada satu orang pun memahaminya. Tangan kiri menggenggam tas yang tampaknya hanya berisi satu buah buku dan tangan kanannya menggenggam dua lembar foto yang sejak sekitar satu jam lalu dipandangnya.

Berjalan sambil setengah berlari menuju derasnya hujan, sampai-sampai terkesan menghilang seperti ditelan oleh hujan. Kerumunan mahasiswa yang tengah berdiri di luar ruang kelas hanya menatap dan hanya bisa mengarahkan pandangan ke arah anak lelaki yang mulai hilang ditelan hujan. Kasak-kusuk pun kembali hadir diantara mereka. Beberapa diantaranya yang tidak mau ambil pusing dengan keanehan si anak lelaki segera meninggalkan tempat tersebut sambil memegang payung dan mengenakan jas hujan.

Tidak begitu lama, hujan pun reda, beberapa mahasiswa yang berkerumun pun segera membubarkan diri, begitu pula dengan mahasiswa yang ada di dalam ruang kelas. Seiring dengan redanya hujan, beberapa mahasiswa melihat sesosok tubuh tergeletak di jalanan, sekitar 10 meter dari ruang kelas. Beberapa mahasiswa berlari menuju pos keamanan dan beberapa menuju sosok tubuh tersebut. Tampaknya korban tabrak lari, karena terlihat darah menggenang di sekitar tubuh yang sudah tidak berdaya tersebut.

Sosok tubuh itu tak lain adalah anak lelaki yang setiap kuliah duduk di bangku pojok kiri deretan depan. Dia terbaring lemas dengan darah yang terus mengalir, tas yang sebelumnya di pegang sudah terpisah dengan tubuhnya, sedangkan tangan kanannya masih erat menggenggam dua lembar foto. Beberapa mahasiswa sudah berkerumun di sekitar tubuh yang tidak berdaya tersebut, mereka terheran-heran dan belum berani menyentuhnya. Mereka berharap petugas keamanan segera mendatangi tempat kejadian.

“Dia sudah mati, tidak ada detak jantung lagi.”, ucap ketua kelas sambil menyentuh bagian dada dan nadi tangan anak lelaki tersebut.

“Mungkin tertabrak waktu dia berlari di tengah hujan tadi, dasar aneh, sudah tahu hujan deras malah menantang maut, kalau tidak tertabrak ya kesambar petir, kalau tidak ya terpeleset jatuh.”, ujar salah satu mahasiswa di tengah kerumunan.

“Huss diam lah, ada yang tahu kontak keluarga terdekatnya?”, tanya ketua kelas sambil mengeluarkan telepon genggam dari saku celananya.

Suasana hening tiba-tiba menyelimuti kerumunan mahasiswa yang tidak berbuat apa-apa. Sang ketua kelas sibuk menelpon dan mengetik pesan singkat, sedangkan mayat anak lelaki tersebut masih dibiarkan tergeletak begitu saja. Salah satu mahasiswa dalam kerumunan yang sebelumnya pernah membela si anak lelaki tersebut, mengambil dua lembar foto yang masih digenggam oleh si mayat, kemudian memandangnya satu demi satu.

“Tidak ada, dia tidak punya keluarga sama sekali.”, ucap mahasiswa yang pernah membela anak lelaki tersebut.

“Maksudmu?”, tanya ketua kelas sambil meletakkan telepon genggamnya ke saku celana kembali.

“Saya kenal dengan teman sekamar anak ini, dia pernah bercerita bahwa anak ini sudah tidak punya keluarga lagi, satu pun, semua keluarganya meninggal dua minggu sebelum dia berangkat kuliah di sini.”

Lo jangan bikin cerita yang aneh-aneh, jangan-jangan lo sama anehnya dengan si anak ini.”, sergah salah seorang mahasiswa dalam kerumunan.

“Teman si anak ini pernah bercerita bahwa desa tempat tinggalnya mengalami kemarau hebat, tanaman pangan dan ternak tidak ada yang hidup, kemudian penduduk desa ramai-ramai membunuh semua keluarganya.”

“Woi, apa hubungannya?”, tanya salah seorang dari kerumunan.

“Dahulu, desanya merupakan desa yang maju pertanian dan peternakannya, hujan selalu turun sepanjang waktu, kemudian banyak penduduk desa yang tidak menyukai hujan. Mereka sering membuat ritual-ritual untuk menghentikan hujan, kemudian si anak lelaki ini beserta keluarganya selalu mengingatkan bahwa hujan adalah rejeki buat desa mereka.”, lanjut si mahasiswa yang pernah membela anak lelaki aneh ini.

“Ya tolong teruskan ceritamu.”, pinta ketua kelas.

“Dia dan keluarganya selalu menasehati, apabila penduduk desa selalu memusuhi hujan, maka suatu saat kemarau akan menyukai desa ini. Kemarau akan membuat kehidupan desa semakin merana, tetapi nasehat tersebut tidak pernah ditanggapi, penduduk desa semakin terlihat tidak menyukai hujan, kemudian Tuhan pun berkehendak, hujan sama sekali tidak turun selama setahun lebih, pertanian dan peternakan desa menjadi hancur. Penduduk desa menjadi bingung dan mereka menganggap keluarganya sebagai penyebabnya, ada yang bilang keluarga si anak ini adalah dukun.”

“Jadi itu yang membuat betapa bahagianya si anak ini ketika hujan turun.”, ucap ketua kelas lirih.

“Tepat, dia pernah berjanji, semenjak keluarganya dibunuh oleh penduduk desa, dia akan menyambut hujan dengan kebahagiaan.”

“Kenapa lo tidak pernah cerita kepada kami?”, tanya salah seorang mahasiswa dalam kerumunan.

“Menurut teman sekamarnya, anak lelaki ini pernah berujar bahwa hujan adalah bapak-ibunya, hujan adalah adik-adiknya, hujan adalah kawan baiknya, ketika petir bersahut-sahutan, tandanya bapak-ibunya sedang menyapanya.”, lanjutnya lagi.

“Hei lantas apa yang ada di foto itu, penting kah?”, tanya ketua kelas.

“Lihatlah kedua foto ini, satu foto bergambar dia bersama kedua orang tuanya dan kedua adiknya dengan latar belakang sawah yang menghijau, satunya lagi foto dia bersama keluarganya dengan latar belakang sawah yang gersang.”, lanjutnya sambil menyodorkan dan memperlihatkan kedua foto ke ketua kelas.

Tidak lama, petugas keamanan datang dengan mobil bak terbuka. Mayat si anak lelaki pun diangkat dan diletakkan di bak mobil, kemudian dibawa pergi dari tempat kejadian. Kerumunan mahasiswa di tempat kejadian semakin bertambah di tengah gerimis yang mulai deras, beberapa dari mereka merasa iba akan nasib si anak lelaki yang baru saja menjadi mayat.

“Mungkin, dia sudah tidak sendiri lagi, dia sudah berkumpul dengan bapak-ibunya dan kedua adiknya.”, ucap ketua kelas sambil berjalan memisahkan diri dari kerumunan.

“Lihat ini sebuah tulisan di balik foto!”, ujar salah satu mahasiswa dalam kerumunan yang tidak sengaja membalik foto tersebut.

“Coba bacakan saja!”,perintah ketua kelas yang sudah bersiap meninggalkan kerumunan.

“Hujan adalah keniscayaan, manusia hanyalah perencana yang buruk.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lutung Kandang Kubah

Seperti biasanya, setiap hari Rabu, Kebun Binatang Jambu terlihat lengang meski waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB. Setiap hari Rabu, Kebun Binatang Jambu menutup diri dari kunjungan masyarakat, karena hari Rabu adalah hari untuk maintenance semua fasilitas, baik itu fasilitas satwa maupun fasilitas untuk pengunjung. Setiap hari Rabu, tidak ada satu pun satwa yang ditempatkan di kandang ekshibisi, dengan kata lain hari Rabu adalah hari libur bagi satwa. Hari Rabu adalah hari dimana para satwa berleha-leha di kandang pribadinya dan hari dimana mereka tidak perlu bergenit-genitan menarik perhatian pengunjung. Hari Rabu di minggu pertama bulan Oktober ini sebenarnya tidak terdapat sesuatu kondisi yang luar biasa, hanya rutinitas seperti hari Rabu lainnya, yakni diantaranya adalah para petugas kebersihan yang tengah melakukan general cleaning dan perbaikan kandang ekshibisi yang kurang layak, penataan taman, keeper satwa yang tengah membersihkan kandang-kandang pribadi satwa, tim k

Sekilas Kabar Dari Kota Empus

Arus kucing terbilang cukup padat di kota ini, dari sore hari setelah waktu Ashar sampai Subuh, riuh para kucing selalu memenuhi setiap jalan raya baik yang berjalan kaki maupun yang menggunakan kendaraan umum dan pribadi, bahkan bisa dibilang kemacetan selalu terjadi setiap harinya, kecuali hari minggu. Namun, terkadang di hari minggu pun muncul kemacetan. Kota Empus merupakan salah satu kota besar di Republik Meong, dan kota ini merupakan kota campur-baur, yakni kota hunian sekaligus bisnis, pemerintahan dan industri. Kondisi kota yang demikian telah menjadikan kota Empus menjadi kota dengan indeks kesemrawutan tertinggi diantara kota-kota lainnya di Republik Meong. Polusi juga tinggi di kota ini, selain itu, angka kriminalitas juga dibilang cukup tinggi, terutama ketika siang bolong saat para kucing warga kota mengistirahatkan tubuh mereka. Seperti halnya kota-kota besar lainnya, apalagi dengan campur-baurnya kepentingan, kota Empus tidak bisa lepas dari arus urbanisasi. Ko

Kisah Di RT Tujuh Belas

“Mas, sampeyan kok belakangan ini jarang kelihatan ya?” “Ya ya memang Plon, saya baru kena musibah, ini baru sembuh.” Sebuah percakapan antara dua ekor kucing jantan yang bernama Cemplon dan Konyik, di atas atap sebuah rumah berlantai dua di perumahan yang tergolong lama. Perumahan lama tersebut telah berdiri sejak tahun 1945 dan mempunyai populasi kucing yang terbilang besar. Setiap RT pasti terdapat komunitas kucing yang terdiri dari jantan alfa atau dominan sebagai leader dan kucing-kucing lain sebagai pengikut. Cemplon dan Konyik merupakan kucing yang menghuni RT. 17 sejak tiga tahunan yang lalu. Orang tua mereka dahulunya sama-sama merupakan penghuni RT. 08. Cemplon terlahir dari pasangan kucing kampung tulen, yang mana bapaknya merupakan kucing jantan alfa dan ibunya merupakan kucing betina primadona di RT. 08. Sedangkan, Konyik terlahir sebagai kucing campuran, bapaknya merupakan kucing angora tulen dan ibunya merupakan kucing kampung yang tidak terlalu cantik. C