“Mas,
sampeyan kok belakangan ini jarang
kelihatan ya?”
“Ya
ya memang Plon, saya baru kena musibah, ini baru sembuh.”
Sebuah
percakapan antara dua ekor kucing jantan yang bernama Cemplon dan Konyik, di
atas atap sebuah rumah berlantai dua di perumahan yang tergolong lama. Perumahan
lama tersebut telah berdiri sejak tahun 1945 dan mempunyai populasi kucing yang
terbilang besar. Setiap RT pasti terdapat komunitas kucing yang terdiri dari
jantan alfa atau dominan sebagai leader dan
kucing-kucing lain sebagai pengikut. Cemplon dan Konyik merupakan kucing yang
menghuni RT. 17 sejak tiga tahunan yang lalu. Orang tua mereka dahulunya sama-sama
merupakan penghuni RT. 08. Cemplon terlahir dari pasangan kucing kampung tulen,
yang mana bapaknya merupakan kucing jantan alfa dan ibunya merupakan kucing
betina primadona di RT. 08. Sedangkan, Konyik terlahir sebagai kucing campuran,
bapaknya merupakan kucing angora tulen dan ibunya merupakan kucing kampung yang
tidak terlalu cantik. Cemplon memiliki rambut pendek dengan warna dasar putih
berhiaskan warna hitam yang membulat di kepala dan perut kanan-kiri serta
berekor pendek yang sedikit membengkok. Sedangkan, Konyik memiliki rambut yang
agak panjang khas kucing campuran dengan warna oranye agak kecoklatan serta
berekor panjang dan lurus.
Mereka
berdua sudah berteman sejak mereka memisahkan dari komunitas kucing RT. 08,
tepatnya ketika mereka sudah tidak menyusu kepada ibu-ibu mereka, saat mereka
berumur sekitar tiga bulan. Saat ini umur mereka berdua sekitar 3 tahun dan
mereka bukanlah kucing yang berpengaruh di lingkungan RT. 17, tempat mereka
hidup saat ini. Keduanya mempunyai hobi yang sama, nongkrong di atas atap rumah pak Karna.
Rumah
pak Karna terletak di jajaran tengah gang RT. 17 dengan bentuk pada umumnya
rumah berukuran 72 meter persegi dan berdiri dengan dua lantai. Rumah pak Karna
sudah tidak memiliki halaman tanah, karena semua luasan tanahnya sudah diubah
dalam bentuk bangunan. Depan rumah sudah dibangun teras rumah dengan lantai
granit yang merangkap sebagai garasi mobil. Ciri khas dari rumah pak Karna
adalah balkon lantai dua yang berbentuk lengkung dengan hiasan beberapa tanaman
hias beserta kursi dan meja kayu jati.
Malam
tanggal lima belas kalender bulan, tidak hanya anak-anak yang bermain dan
memeriahkan suasana malam, melainkan kucing-kucing perumahan pun ikut juga
meramaikan malam yang bisa dibilang lebih terang dari malam-malam lainnya. Suara
riuh anak-anak bercampur dengan suara-suara kucing menghasilkan sebuah lagu
yang tidak dimengerti oleh telinga siapapun.
“Lho musibah apa tho?”
“Biasalah Plon, ini yang kelima
kalinya saya mendapat musibah ini.”
Cemplon dan Konyik, tidak ikut meramaikan
suasana malam terang itu. Mereka hanya nongkrong
di tempat favorit, meskipun seringkali bahaya menghadang mereka di tempat
tersebut. Seringkali Jata, kucing jantan alfa RT. 17 mengusir mereka dari
tempat favorit tersebut. Tidak tanggung-tanggung, si Jata seringkali mengejar
mereka, bahkan sampai di penghujung perumahan dan pernah sampai perumahan
tetangga yang jaraknya terbilang tidak dekat. Jata, kucing jantan berumur hampir
sepuluh tahun merupakan penguasa RT. 17 bahkan juga RT-RT sebelahnya. Kucing berambut
pendek dengan warna abu-abu gelap, berekor bobtail
dan berkepala besar tersebut merupakan kucing kesayangan pak Karna. Meskipun
suka kencing sembarangan dan berkelahi di sana-sini, Jata tetap menjadi
kesayangan seluruh anggota keluarga pak Karna. Bahkan, pak Karna pernah membuat
semacam petisi, bahwa siapa pun yang berani menyakiti Jata akan berurusan
dengan beliau.
Tidak hanya Jata yang menjadi
penguasa lingkungan RT. 17, sang pemilik ternyata juga menjadi penguasa RT. 17,
pak Karna adalah ketua RT. 17 yang sudah sangat lama menjabat. Dengan jabatan
yang diemban pak Karna itulah, warga RT. 17 tidak ada yang berani menyakiti
Jata, bahkan beberapa warga tidak berani mengusir Jata ketika kucing jantan
tersebut masuk ke rumahnya.
“Cerita dong mas?”
“Yo
wes, dengarkan ya, begini Plon, tahu pak Karna kan?”
“Ya jelas tahu dong, lha ini kan
kita di atas atap rumah beliau”, ujar Cemplon.
“Begini Plon, sudah bukan rahasia
kan Plon kalau pak Karna tidak suka kucing sepertiku ini, kucing campuran”,
Konyik sedikit menjelaskan.
Malam
itu, suasana sangatlah riuh, sudah tidak bisa dibedakan lagi antara suara
anak-anak dengan suara kucing, dan sesekali suara petasan. Namun, atap rumah
pak Karna tetaplah hening, hanya suara dua ekor kucing yang sejatinya sangat
tidak begitu penting di lingkungan RT. 17.
“Seminggu
lalu Plon, saya kena gebuk pak Karna,
saya tidak tahu kenapa pak Karna begitu, padahal saya hanya lewat depan rumah
beliau”, Konyik melanjutkan sedikit ceritanya.
“Lha
terus sampeyan kondisinya bagaimana?”
“Ini
sudah baikan Plon sejak kemarin, hampir lima hari kaki belakang saya tidak bisa
digerakkan, tapi Alhamdulillah pak dokter hewan yang tinggal di ujung gang ini
merawatku Plon”, ujar Konyik.
“Wah
kok jahat ya pak Karna”, ucap Cemplon sambil mendongakkan kepalanya ke atas
seraya menatap bulan purnama yang tengah cantik-cantiknya.
“Ya
begitulah Plon, saking tidak sukanya kepada kucing campuran, pak Karna bersikap
seperti itu, bahkan kalau tidak salah, si Jata pernah berujar bahwa pak Karna
ingin di lingkungan RT. 17 tidak boleh ada kucing campuran.”
“Wah
itu namanya rasis mas, padahal kan kucing lokal sama campuran itu sama-sama
kucing, dan yang lokal pun pasti berasal dari kucing campuran”, Cemplon
menimpali.
“Entahlah
Plon, tapi Alhamdulillah pak dokter hewan sudah memberitahukan ke pak Karna
kalau tindakan beliau tidak benar”
“Sabar
mas, Gusti mboten sare”.
“Semoga
besok pak Karna sudah berubah menjadi lebih baik lagi”, ucap Konyik sambil
menjilati kaki depan kanannya, kemudian mengusapkannya ke wajah.
Suara
garang tiba-tiba terdengar begitu dekat, saking dekatnya, Konyik dan Cemplon
serta merta menoleh ke arah sumber suara. Tidak sampai tiga detik muncul seekor
sosok yang sudah tidak asing bagi mereka. Jata muncul di atas atap, berjalan
perlahan kemudian diam menatap kedua kucing yang sedang nongkrong tersebut dalam jarak yang tidak begitu jauh, sekitar lima
jengkal tangan. Tiba-tiba suara gaduh dari atas atap rumah pak Karna memecah
keriuhan suara anak-anak di bawah sana, sejenak suara riuh tersebut berhenti
dan berganti dengan suara gaduh di atas atap rumah pak Karna. Tidak sampai lima
detik, suara gaduh dari atas atap berakhir dengan suara benda jatuh. Tampaknya ada
benda yang menghantam sesuatu dengan sangat kerasnya. Ramai dan riuh suara
anak-anak yang merayakan malam tanggal lima belas kalender bulan kemudian
berlanjut. Di balkon rumah pak Karna, tepatnya di meja kayu jati telah duduk dengan
manisnya dua anak pak Karna beserta Jata dengan dua cangkir minuman coklat
hangat beserta sepiring pisang gorenag terhidang di meja kayu jati, dengan
santainya kedua anak pak Karna mengamati kemeriahan malam tanggal lima belas
kalender bulan.
Komentar
Posting Komentar